MAKALAH
ENTOMOLOGI
MANFAAT
SERAGGA DIBIDANG PERTANIAN DAN KEHIDUPAN

Disusun
Oleh :
Syahirul
Alim ( 2017 411 019.P )
Dosen
Pembimbing :
Dian
Mutiara, S.Si., M.Si
PROGRAM
STUDI BIOLOGI FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS
PGRI PALEMBANG 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Serangga adalah makhluk hidup yang berdarah dingin.
Bila suhu lingkungan menurun, maka suhu tubuh mereka juga menurun dan proses
fisiologinya menjadi lamban. Beberapa serangga dapat hidup pada suhu yang
sangat rendah dan beberapa lagi mampu hidup pada suhu tinggi. Serangga tahan
terhadap suhu rendah sebab di dalam jaringan tubuhnya tersimpan
etilenaglikol.Perkembangan dan siklus hidup serangga mengalami tingkat-tingkat
dari yang sederhana sampai kompleks dan bahkan menakjubkan. Siklus hidup
belalang dimulai dari telur, berikutnya telur menetas menjadi nimfa. Nimfa
inilah yang kemudian berkembang menjadi imago “serangga dewasa”. Serangga
memiliki struktur yang mengagumkan bila kita bandingkan dengan vertebrata.
Lebah dan tabuhan serta sejumlah semut (ordo hymenoptera),
misalnya memiliki organ untuk bertelur (ovipositor) yang berkembang menjadi
“penusuk beracun” (sengat). Sengat tersebut merupakan satu sarana yang bagus
untuk menyerang dan mempertahankan diri. Serangga juga memiliki warna-warni
yang kemilau, layaknya permata yang hidup. Manusia memperoleh manfaat dari
kehadiran serangga khususnya dalam bidang perkebunan. Peranan serangga
menguntungkan tersebut antara lain sebagai penyerbuk tanaman, serta ada pula
serangga yang berperansebagai predator dan parasit pada beberapa jenis hama
tanaman ini sangat bermanfaat dalam hal pengendalian hayati. Parasit adalah
binatang yang memarasiti binatang lain. Parasitoid adalah serangga hidupnya
menumpang pada tubuh inangnya dengan menghisap cairan tubuh inang tersebut untuk
keperluan hidupnya. Sedangkan parasitisme merupakan peristiwa atau suatu proses
simbiosis antara dua individu, dimana salah satunya menumpang dan makan pada
simbion lain yang bersangkutan. Untuk dapat mencapai dewasaa parasitod hanya
memerlukan satu inang.Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasa
sedangkan pada fase dewasa hidup bebas dan tidak terikat pada inangnya.
Penggunaan
bahan-bahan kimia seperti pestisida, herbisida dan pupuk sintetis dapat
mengakibatkan pencemaran lingkungan dan kerusakan pada suatu ekosistem. Hama
merupakan serangga yang hidup di dalam organisme lain (berbeda kelas). Misalnya
cacing hidup di dalam tubuh belalang atau manusia (penghisap darah). Insekta
penyebab kerusakan tanaman pada perkebunan Hortikultura merupakan masalah
diorientasikan kepada kepentingan manusia, tetapi tentunya tidak tepat kalau
dikatakan bahwa munculnya masalah hama atau serangga pengganggu dikarena hanya
kehendak mereka sendiri dan manusia menderita karena ulah serangga-serangga
tersebut. Populasi serangga pengganggu atau dikenal sebagai hama meningkat
menjadi tinggi karenaterdorong oleh tersedianya makanan yang sesuai ditanam
manusia dalam area luas dan dilakukan secara terus menerus. Hubungan antara
serangga hama dengan tanaman merupakan hubungan timbal balik sehingga baik
serangga maupun tanaman masing-masing memperoleh keuntungan. Berdasarkan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fahjur Akbar (2013),
diketahui bahwa pada wilayah Agroekosistem Kelurahan
Kalampangan Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya ditemukan 9 jenis ordo dalam
kelass Insektayang terdiri dari 20 familia yang ditemukan pada enam sampling
dengan keadaan faktor lingkungan dan jenis lahan yang berbeda-beda.
B. Rumusan masalah
1. Peran
Negatif Serangga Dibidang Pertanian dan Kehidupan
2.
Peran Positif
Serangga di Bidang Pertanian dan Kehidupan
C. Tujuan
- Untuk
Mengetahui Peran Negatif Serangga Dibidang Pertanian dan Kehidupan
- Untuk
Mengetahui Peran Positif
Serangga di Bidang Pertanian dan Kehidupan
BAB II
PEMBAHASAN
- Peran Negatif
Serangga Dibidang Pertanian dan Kehidupan
Serangga mempunyai
peranan penting dalam kehidupan manusia. Bila mendengar nama serangga, maka
selalu diidentikkan dengan hama di bidang pertanian yang bersifat merugikan,
seperti walang sangit, wereng, ulat grayak dan lainnya. Serangga dapat merusak tanaman sebagai hama
dan sumber vector penyakit pada manusia.
Ratusan butir telur kupu-kupu yang menempel pada daun, akan menetas
menjadi ulat yang rakus mengunyah daun tanaman. Tanaman bukannya untung tapi
malah rugi. Serangga merugikan (Harmful or injerious insect) terdiri dari :
1.
Poisonous insect seperti ulat bajra atau ulat
api, lebah
2.
Pest yaitu crop
pest seperti serangga hama pada tanaman yang dibudidayakan, Plnat pest seperti
serangga hama pada tanaman hutan atau tanaman sayuran lainnya.
3.
Stored groin pest
seperti serangga hama gudang
4.
House hold pest
seperti serangga hama pada rumah tangga, contohnya serangga kecoa
5.
Domestic animal
pest seperti serangga hama pada luka yang diderita hewan ternak.
6.
Disease pests
seperti serangga yang menyebabkan berbagai penyakit ataupun vektor penyakit.
Serangga dianggap
sebagai hama ketika keberadaannya merugikan kesejahteraan manusia, estetika
suatu produk, atau kehilangan hasil panen.
Apabila pengertian hama itu hewan yang merugikan, maka serangga hama
didefinisikan sebagai serangga yang mengganggu dan atau merusak tanaman haik
secara ekonomis atuu estetis. Definisi hama itu tidak harus dihubungkan dengan
pengendaliannya. Pada populasi serangga yang rendah sehingga kerugian yang
diderita tanaman kecil, tetap serangga itu dikatakan serangga hama tetapi bukan
memerlukan strategi pengendalian. Jadi, permasalahan serangga di bidang
pertanian tidak terlepas dari peran serangga sebagai hama. Serangga merupakan
salah satu kelompok binatang yang merupakan hama utama bagi banyak jenis
tanaman yang dibudidayakan manusia. Selain sebagai hama tanaman beberapa
kelompok dan jenis serangga dapat menjadi pembawa atau vektor penyakit tanaman
yang berupa virus atau jamur (Untung dan Sudomo, 1997).
Serangga memiliki peran
negatif disebabkan memakan tumbuhan (fitopag), sebagai vektor penyakit virus
pada tanaman dan sebagai sumber penyakit pada manusia.
1.
Serangga sebagai fitofag atau pemakan tumbuhan
Jumlah spesiesnya hanya
26% dari seluruh spesies serangga yang ada. Meskipun demikian, kalau tidak
waspada serangga ini dapat menyebabkan kerugian yang tidak kecil pada usaha
tani kita. Namun serangga-serangga fitofag yang hidup dengan memakan gulma
dapat bermanfaat dalam pengendalian gulma secara hayati. Sebagai pemakan
tumbuhan, serangga-serangga fitofag dapat memakan berbagai macam bagian tanaman
mulai dari akar, batang, daun, bunga dan buah.
Kebun jagung dihabiskan olehbelalang atau ulat grayak, tanaman padi
sawah hancur karena serangga wereng atau penggerek batang. Cara hidup serangga ini beragam, ada yang
hidup di permukaan tanaman, dan ada juga yang hidup di dalam jaringan tanaman
dengan cara mengorok, mengorek atau membentuk puru. Selain itu juga ada yang
hidup di dalam tanah seperti perakaran. Diantara serangga fitofag, ada yang hidup
hanya pada satu jenis tanaman, pada beberapa jenis tanaman namun masih dalam
satu amili dan ada pula yang hidup pada beberapa jenis tanaman dari berbagai
family. Serangga yang mempunyai satu inang disebut serangga manofag. Serangga
yang mempunyai beberapa inang dalam satu family disebut serangga oligofag atau
stenofag. Serangga yang mempunyai banyak inang dari banyak family tanaman
disebut serangga polifag.
2.
Serangga sebagai
vektor penyakit virus pada tanaman
Beberapa tanaman (padi,
tomat, cabai, ketimun, tembakau, lada, kacangkacangan, pisang, dll) dapat
terserang penyakit yang disebabkan oleh virus melalui vektor serangga. Virus
terbawa oleh serangga ini pada waktu mengisap pada tanaman sakit dan dan serangga
ini berpindah dan mengisap pada tanaman sehat, virus tersebut tertular ke
tanaman sehat. Virus yang dapat
menyebabkan penyakit adalah virus mosaik ketimun (Cucumber Mosaic Virus/CMV)
Memiliki inang yang luas termasuk gulma.
Jarang menyerang tanaman yang masih muda dan ditularkan oleh kutu
daun. chili vein mottle virus (ChiVMV)
ditularkan oleh kutu daun dan Jika populasi kutu daun sangat tinggi akan
membentuk sayap sehingga mudah diterbangkan oleh angin, Potato Virus Y (PVY) menyerang tanaman cabe, kentang, tomat, dan
tembakau. PVY ditularkan oleh kutu daun
dan bahan biakan vegetatif. Tomato
Spotted Wilt Ringspot Virus (Virus Bercak Bercincin) menyerang banyak tanaman inang dan ditularkan oleh Thrips. Gemini Virus (Virus Kuning) dapat menyerang tanaman
cabai, tomat, tembakau, gulmayang ditularkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci).
Jumlah kutu yang sedikit sudah cukup untuk menyebarkan karena serangga dewasa
aktif bergerak. Kutu putih Ferrisia
virgata dan Planococcus telah diketahui peranannya sebagai serangga vektor
penyakit kerdil pada tanaman lada baik di Indonesia maupun di negara Asia
Tenggara lainnya. Kedua serangga tersebut berperan sebagai serangga vektor PYMV
pada tanaman lada, sedangkan A. gossypii berperan dalam menularkan CMV (Eng,
2000).
Kutu putih ini dikenal
sebagai vektor yang efisien, artinya serangga tersebut mempunyai kemampuan
menularkan yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil penularan sebanyak dari 5
serangga ekor per tanaman (yang telah diberi makan pada tanaman sakit) mampu
menghasilkan gejala sebesar 35% (Balfas dan Mustika, 2004; Balfas., 2003).
Penyakit tungro
disebabkan oleh dua jenis virus yang berbeda yaitu virus bentuk batang Rice
Tungro Bacilliform Virus (RTBV) dan virus bentuk bulat Rice Tungro Spherical
Virus (RTSV). Kedua jenis virus tersebut tidak memiliki kekerabatan serologi
dan dapat menginfeksi tanaman secara bersama-sama. Virus tungro hanya
ditularkan oleh wereng hijau (sebagai vektor) tidak terjadi multiplikasi dalam
tubuh wereng dan tidak terbawa pada keturunananya. Sejumlah species wereng
hijau dapat menularkan virus tungro, namun Nephotettix virescens merupakan
wereng hijau yang paling efisien sehingga perlu diwaspadai keberadaannya.
Penularan virus tungro dapat terjadi apabila vektor memperoleh virus setelah mengisap
tanaman yang terinfeksi virus kemudian berpindah dan mengisap tanaman sehat
tanpa melalui periode laten dalam tubuh vektor.
Di Pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Orosius argentatus (Hemiptera: Ciccadellidae) menjadi
vektor penyakit sapu pada beberapa tanaman kacang-kacangan, termasuk pada
tanaman kacang tanah. Penyakit sapu yang disebabkan oleh fitoplasma dapat
menyebabkan kehilangan hasil yang nyata pada kacang tanah (Arachis hypogaea ).
Penularan fitoplasma yang paling utama di lapangan ialah melalui serangga vektor. Orosius argentatus
dapat menularkan virus fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang tanah
(Sastrini dan Mutaqin, 2013).
Spesies lain dari
famili Ciccadellidae ialah Empoasca sp. yang dilaporkan menjadi vektor
fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang gude (Cajanus cajan) di Florida
(McCoy et al. 1983), Penyakit darah pisang disebabkan oleh blood disease
bacterium (BDB) diduga dapat ditularkan oleh serangga Ordo Diptera, Famili
Drosophilidae. Serangga Drosophilidae mampu menularkan patogen ke tanaman
Heliconia yang sehat (Sahetapy, 2013).
3.
Serangga sebagai sumber penyakit pada manusia
Serangga mampu
menyebarkan penyakit dan kematian. Penyakit yang ditularkan serangga
”bertanggung jawab atas lebih banyak penyakit dan kematian manusia pada abad
ke-17 hingga awal abad ke-20 dari pada gabungan semua penyebab lainnya”, kata
Duane Gubler dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS. Sekarang ini, kira-kira 1 dari setiap 6 orang
terinfeksi penyakit yang diperoleh melalui serangga. Selain menyebabkan
penderitaan manusia, penyakit yang ditularkan serangga mengakibatkan beban
keuangan yang berat, khususnya bagi negara-negara berkembang—yang paling tidak
mampu menanggung biayanya. Bahkan sebuah wabah saja dapat menelan biaya yang
besar. Sebuah insiden semacam itu di India bagian barat pada tahun 1994 konon
telah menguras miliaran dolar dari perekonomian setempat dan dunia. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), negara-negara termiskin di dunia tidak akan
sanggup maju secara ekonomi sampai problem kesehatan semacam itu dikendalikan
(Sedarlah, 2003).
Ada dua cara utama
bagaimana serangga berfungsi sebagai vektor—penular penyakit. Yang pertama
adalah dengan penularan mekanis. Sebagaimana manusia dapat membawa tanah ke
dalam rumah lewat sepatu yang kotor, ”lalat rumah bisa membawa jutaan
mikroorganisme pada kaki mereka yang, dalam dosis yang cukup besar, dapat
menyebabkan penyakit”, kata Encyclopædia Britannica. Misalnya, lalat dapat
membawa zat pencemar dari tinja dan meneruskannya ketika mereka hinggap di atas
makanan atau minuman kita. Dengan cara inilah manusia tertular penyakit yang
melemahkan dan mematikan seperti tifoid, disentri, dan bahkan kolera. Lalat
juga turut menyebarkan trakoma—penyebab utama kebutaan di dunia ini. Trakoma
dapat membutakan orang dengan melukai kornea—bagian bening dari mata di depan
iris. Di seluas dunia, sekitar 500.000.000 orang menderita bala ini. Kecoak,
yang tumbuh pesat di kotoran, juga diduga menularkan penyakit secara mekanis.
Selain itu, para pakar mengaitkan peningkatan tajam penyakit asma belum lama
ini, khususnya di kalangan anak-anak, dengan alergi terhadap kecoa (Sedarlah,
2003)
Apabila serangga
menyimpan virus, bakteri, atau parasit dalam tubuh mereka, mereka dapat
menyebarkan penyakit dengan cara kedua—dengan meneruskannya melalui gigitan
atau cara lain. Hanya sebagian kecil serangga yang menularkan penyakit kepada
manusia dengan cara ini. Sebagai contoh, meskipun ada ribuan spesies nyamuk,
hanya genus Anopheles yang menularkan malaria—penyakit menular paling mematikan
nomor dua di dunia (setelah tuberkulosis). Namun, nyamuk lain menularkan banyakpenyakit
yang berbeda. WHO melaporkan, ”Dari semua penyakit yang ditularkan serangga,
nyamuk adalah ancaman yang terbesar, menyebarkan malaria, demam berdarah, dan
demam kuning, yang semuanya bertanggung jawab atas beberapa juta kematian dan
ratusan juta kasus [penyakit menular] setiap tahun.” Sekurang-kurangnya 40%
penduduk dunia berisiko tertular malaria, dan sekitar 40% berisiko tertular
demam berdarah. Di banyak tempat, seseorang dapat tertular kedua-duanya. Tentu
saja, nyamuk bukan satu-satunya serangga yang membawa penyakit dalam tubuh
mereka. Lalat tsetse menularkan protozoa penyebab penyakit tidur, menjangkiti
ratusan ribu orang dan memaksa segenap komunitas menelantarkan ladang mereka
yang subur. Dengan menularkan organisme yang menyebabkan kebutaan sungai, lalat
hitam telah merampas penglihatan sekitar 400.000 orang Afrika. Lalat pasir
dapat membawa protozoa yang menyebabkan leismaniasis, sekelompok penyakit yang
melumpuhkan, merusak, dan sering kali berakibat fatal yang sekarang ini
menjangkiti jutaan orang dalam segala usia di seputar dunia. Kutu yang ada di
mana-mana dapat menjadi inang cacing pita, ensefalitis, tularemia, dan bahkan
pes—pada umumnya berkaitan dengan Sampar Hitam, yang dalam enam tahun saja
menewaskan sepertiga atau lebih penduduk Eropa selama Abad Pertengahan
(Sedarlah, 2003).
Kutu pengisap, tungau,
dan caplak dapat menularkan berbagai macam penyakit tifus, selain penyakit
lainnya. Caplak di negeri-negeri beriklim sedang di seputar dunia dapat membawa
penyakit Lyme yang berpotensi melemahkan—penyakit yang ditularkan vektor yang
paling umum di Amerika Serikat dan Eropa. Sebuah penelitian di Swedia
menyingkapkan bahwa burung-burung yang bermigrasi dapat membawa caplak sejauh
ribuan kilometer, mungkin memasukkan penyakit yang mereka bawa ke kawasan baru.
”Caplak,” kata Britannica, ”mengungguli semua artropoda lainnya (kecuali
nyamuk) dalam jumlah penyakit yang mereka tularkan kepada manusia.” Sebenarnya,
seekor caplak saja dapat membawa sampai tiga organisme penyebab penyakit yang
berbeda dan dapat menularkan semuanya dengan satu gigitan saja! (Sedarlah,
2003).
- Peran Positif
Serangga di Bidang Pertanian dan Kehidupan
Tidak semua serangga
bersifat merugikan karena juga ada serangga yang memiliki dampak positif.
Sebagian serangga bersifat sebagai predator, parasitoid, atau musuh alami
(Christian dan Gotisberger 2000).
Melalui peran sebagai
musuh alami, serangga sangat membantu manusia dalam usaha pengendalian hama.
Selain itu serangga juga membantu dalam menjaga kestabilan jaring-jaring
makanan dalam suatu ekosistem pertanian. Serangga juga diperlukan untuk
kehidupan manusia. Serangga dari kelompok lebah, belalang, jangkrik, ulat
sutera, kumbang, semut membantu manusia dalam proses penyerbukan tanaman dan
menghasilkan produk makanan kesehatan. Peranan serangga dalam ekosistem antara
lain sbagai pollinator, dekomposer, predator (pengendali hayati), parasitoid
hingga sebagai bioindikator bagi suatu ekosistem sehingga dengan adanya
kegunaan serangga itu akan sangat bepengaruh dalam bidang pertanian. Kelompok serangga yang peranannya berguna
disebut juga Helful or beneficial insect.
Peranan positif serangga adalah sebagai berikut:
1.
Serangga sebagai pollinator
contohnya adalah lebah
dan kupu-kupu Lebah juga bukan merupakan satu-satunya serangga yang bertugas
memperlancar penyerbukan bunga. Namun ia merupakan satu-satunya serangga yang
saat melakukan polinasi tidak menimbulkan efek samping yang merugikan bagi
tanaman. Berbeda dengan kupu-kupu, misalnya tak ada yang menyangkal bahwa
kupukupu yang mengisap madu itu mampu membantu menempelkan serbuk sari pada
kepala putik sebuah bunga, dan itu akan mempermudah proses pembentukan buah.
Lebah sendiri merupakan pollinator tanaman yang paling penting di alam
dibandingkan angin, air dan serangga lainnya. Banyak peneliti mengungkapkan
bahwa terdapat kenaikan produksi jika sejumlah koloni lebah diletakkan di
sekitar lokasi tanaman. Lebah memiliki organ khusus untuk mengambil nektar,
yang disebut proboscis yang bentuknya seperti belalai pada gajah. Proboscis
memiliki kemampuan mengisap cairan nectar pada bunga. Aktivitas terbang lebah
mengumpulkan nektar dan polen berlangsung sejak pagi sampai sore hari. Polen
diperlukan oleh lebah madu terutama sebagai sumber protein dan lemak, dan
sedikit karbohidrat dan mineral.
Aktivitas lebah tersebut dilakukan secara tidak sengaja pada saat
pencarian nectar dan tepung sari sebagai bahan pakan untuk koloninya.
Menurut Freitas dan
Paxton, (1996), tanaman yang mendapat bantuan penyerbuk dalam proses pembuahan,
menghasilkan hasil panen yang lebih banyak. Oleh sebab itu, agar hasil produksi
meningkat harus diperhatikan pengelolaan serangga penyerbuk agar populasinya
cukup ketika musim pembungaan. Selain itu strain tanaman dipilih yang dapat
menghasilkan polen yang cocok satu sama lain. Penggunaan pestisida yang tidak
tepat juga dapat membunuh penyerbuk.
2.
Serangga sebagai dekomposer atau pengurai
Serangga-serangga
tersebut akan memakan tanaman-tanaman yang sudah tua sehingga mengembalikan
unsur hara dalam tanah dan membuat tanah menjadi subur. Contoh serangga sebagai
dekomposer adalah rayap. Dapat diinformasikan bahwa kehadiran rayap sejak awal
mula adalah sebagai organism pemakan kayu (bahan organik), namun, karena
perubahan kondisi habitat akibat aktivitas manusia sehingga rayap menjadi
serangga hama yang merugikan. Rayap merupakan hama pada tanaman karet yang
menyerang akar dan batang tanaman sehinga mengakibatkan pelukaan dan jaringan
mengalami kerusakan. Rayap meskipun banyak mengganggu atau menjadi hama bagi
tanaman tetapi juga brguna bagi keseimbangan tanah.
3.
Serangga sebagai parasitoid dan predator
Kelompok serangga ini
hidup dengan cara memakan serangga lain baik sebagian maupun seluruhnya.
Perbedaan antara predator dan parasitoid terletak pada cara hidup dan cara
makan serangga lain tersebut. Predator umumnya aktif dan mempunyai tubuh yang
lebih besar dan lebih kuat dari serangga mangsanya, walaupun ada predator yang
bersikap menunggu seperti belalang sembah. Istilah parasitoid digunakan untuk
membedakannya dalam istilah parasit sungguhan seperti umum dijumpai pada hewan
vetebrata. Predator dan parasitoid berperan penting sebagai agen pengendali alami
di dalam ekosistem, pada ekositem buatan umumnya kehidupan kelompok serangga
ini sering terganggu oleh campur tangan manusia dalam kegiatan budi daya
tanaman, terutama dalam penggunaan pestisida.
Semut ada yang bersifat sebagai predator maupun pemakan bahan organik
tanah. Semut-semut yang berasosiasi dengan serangga penghasil embun madu
seperti aphid, Stictococcus sp., Planococcoides njalensis dan T. aurantii
adalah Pheidole megacephala, Crematogaster africana Mayr, Crematogaster
striatula Emery, Oecophylla longinoda Latr., Cataulacus guineensis Smith,
Polyrachis laboriosa Smith, dan Camponotus olivieri F. (Dwomoh, Ackonor dan
Afun., 2008).
4.
Serangga sebagai bioindikator lingkungan
Serangga bioindikator
merupakan hewan yang sangat sensitif/responsif terhadap perubahan atau tekanan
pada suatu ekosisitem dimana ia hidup. Penggunaan serangga sebagai bioindikator
kondisi lingkungan atau eksosisitem yang ditempatinya telah lamadilakukan.
Jenis serangga ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui
kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak
digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah,
diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera, Diptera,
Trichoptera dan Plecoptera yang kelimpahan atau kehadirannya mengindikasikan
bahwa lingkungan tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak dapat hidup
pada habitat yang sudah tercemar. Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial
insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di
berbagai negera termasuk di kawasan hutantropis (Shahabuddin, 2003).
Ditambahkan oleh
Wardhani (2007) dalam laporannya bahwa, larva Odonata juga berpotensi sebagai
bioindikator pencemaran air, karena larva ini sangat sensitif terhadap
perubahan kualitas air. Bila kualitas air sungai sebagai habitatnya tercemar,
maka larva odonata akan mati.
5.
Serangga penghasil bahan-bahan yang berguna bagi
manusia
Di antara kelompok
serangga penghasil bahan-bahan yang berguna, yang paling menonjol adalah lebah
madu. Serangga ini selain menghasilkan madu juga sebagai serangga penyerbuk.
Selain lebah madu contoh serangga lain adalah ulat sutera (Bombyx mori) dan serangga
penghasil Lak yaitu Laccifer lacca.
Belalang merupakan serangga yang selama ini dianggap sebagai hama dan
merugikan. Makan belalang pun identik dengan kemiskinan, padahal kandungan
protein belalang menurut penelitian Kusmaryanti (2005) jauh lebih tinggi
daripada tepung udang. Tepung belalang kayu (Melanoplus cinereus) mempunyai nilai protein yang lebih tinggi
dari udang windu (Panaeneous Monodon). Kadar protein tepung belalang kayu
sebesar 17,922% sedangkan tepung udang
windu hanya 9,846%. Protein mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kelangsungan hidup manusia. Kekurangan protein dalam waktu lama dapat
mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap
berbagai penyakit. Sebagian besar warga di Gunungkidul telah mengenal dan
mengkonsumsi belalang sebagai lauk-pauk makan sehari-hari. Walaupun semula
belalang identik dengan lauk-pauk orang miskin, namun makan belalang adalah
suatu kenangan yang tak terlupakan bagi warga yang telah lama merantau keluar
dari Gunung kidul. Sehingga belalang merupakan makanan yang selalu dicari dan
tetap lestari di daerah Gunung kidul. Selama ini belalang hanya dimanfaatkan
sebagai makanan khas yang cara mengkonumsinya hanya dengan digoreng, dan belum
dimanfaatkan menjadi produk pangan lokal yang bernilai ekonomi lebih tinggi.
Berbagai produk olahan pangan dari bahan
baku belalang yang lebih bervariasi selain kerupuk, yaitu lemper, opak,
pangsit, abon dan sebagainya.
Menurut Asthami,
Estiasih dan Maligan., (2016), tepung belalang kayu dapat ditambahkan dalam
formulasi mie instan karena produk mie instan belalang yang dihasilkan memiliki
nilai kuantitas dan kualitas protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie
instan komersial yang berada dipasaran. Belalang dan jangkrik adalah jenis serangga
yang paling umum dikonsumsi di seluruh dunia. Serangga yang jago melompat ini
memang mudah ditemukan, mudah ditangkap, dan rasanya lezat. Dalam 3-5 ons
belalang mentah terkandung 14-28 gram protein. Belalang juga kaya kalsium dan
zat besi. Kelebihan lain dari belalang
adalah rasanya yang netral sehingga bisa dibuat menjadi berbagai panganan. Cara
paling populer untuk mengasup belalang adalah digoreng atau dipanggang. Belalang dan jangkrik digemari penduduk Indonesia
di kawasan timur. Mereka memenggang atau
menyangrainya, rasanya lembut dan segurih udang. Ulat juga sering
dikonsumsi. Dalam 100 gram ulat yang dikeringkan terkandung 53 gram protein dan
15 persen lemak. Kandungan protein dalam ulat bahkan lebih tinggi dibanding
ikan dan daging. Kumbang mengandung 36
gram protein dalam satu sajian kecil. Selain itu hewan ini juga mengandung
mineral seperti kalsium, zat besi, dan zinc.
Jangkrik dan semut juga dijadikan sumber makanan protein hewani, selain
sebagai pakan burung, ikan hias, udang, umpan pancing, dan banyak spesies
lainnya yang berguna bagi kehidupan.
Penduduk pada beberapa kawasan di Indonesia (seperti Irian) mengkonsumsi
belalang sebagai sumber lauk sehari-hari, namun tidak populer di kawasan lainnya.
Maka perlu dimasyarakatkan cara mengolah dan memasaknya untuk mendapatkan cita
rasa yang nikmat. Dari sudut pandangan agama, mengkonsumsi serangga bukan hal
yang diharamkan. Prospek pemanfaatn serangga terbuka luas. Ulat sagu sangat digemari oleh masyarakat
Ambon karena rasanya manis, lunak dan lezat. Penggemar lebah madu/tawon
mengambil madu, lilin tawon, susu madu, perekat lebah bernilai ekonomis, dan
larvanya dengan cara berburu di alam.
6.
Serangga bermanfaat dalam bidang kesehatan
Telur Belalang
berkhasiat untuk mengobati jerawat. Belalang bersifat panas dan kering,
konsumsi dalam jumlah banyak dapat melangsingkan tubuh. Belalang juga mempunyai
khasiat untuk mengobati berbagai penyakit, seperti sakit kuning, sesak nafas
karena batuk, setip/kejang dan infeksi sumsum tulang. Untuk mengobati sakit
kuning, dilakukan dengan menghirup asap pembakaran sepuluh ekor belalang. Sesak
nafas karena batuk dapat diobati dengan mengkonsumsi ramuan tepung belalang (5
ekor) yangg dicampur dengan 1 sendok
makan arak manis, setiap pagi dan sore
(Haryanto, 2005).
Strategi pengelolaan
ekosistem pertanian berdasarkan peranan serangga Dengan mempelajari struktur
ekosistem seperti komposisi jenis-jenis tanaman, hama, musuh alami, dan
kelompok biotik lainya, serta interaksi dinamis antar komponen biotik, dapat
ditetapkan strategi pengelolaan yang mampu mempertahankan populasi hama pada
suatu aras yang tidak merugikan.
Agroekosistem perlu dikelola sedemikian rupa sehingga musuh alami dapat
dilestarikan dan dimanfaatkan. Setiap jenis hama secara alami dikendalikan oleh
kompleks musuh alami yang dapat meliputi predator (pemangsa), parasitoid, dan patogen hama. Dibandingkan dengan
penggunaan pestisida, penggunaan musuh alami bersifat alami, efektif, murah,
dan tidak menimbulkan dampak samping negatif bagi kesehatan dan lingkungan
hidup (Untung, 2006).
Pengelolaan serangga
pada jambu mete diarahkan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada dengan
mengutamakan kehadiran serangga berguna (Soesanthy dan Trisawa, 2011).
Dalam pengelolaan
serangga yang berorientasi pada bekerjanya sistem alami, maka perlu dihindari
faktor-faktor yang dapat mengganggu sistem tersebut seperti pembakaran sisa
pemangkasan dan atau vegetasi liar, serta penggunaan insektisida sintetik.
Menurut Supriadi (2002)
praktek pembakaran dapat membunuh serangga serangga berguna yang hidup dan
berkembang biak di atas permukaan tanah.
Penggunaan insektisida dapat berpangaruh buruk terhadap musuh alami.
Oleh karena itu, penggunaannya dilakukan sebagai alternatif terakhir jika cara
pengelolaan sebelumnya kurang berhasil dalam menekan populasi serangga yang
merugikan, Penggunaannya harus dilakukan secara bijaksana misalnya dengan
memperhatikan saat yang tepat untuk aplikasi (Soesanthy dan Trisawa,
2011).
Pengendalian penyakit
yang disebabkan oleh virus sangat sulit. Oleh karena itu yang dapat dilakukan
adalah melakukan tindakan pencegahan. Untuk menghindari penyebaran penyakit
menghendaki keberhasilan penunggalan serangga vektor yang amat tinggi sejak
pembibitan sampai di lapang. Persemaian harus bebas dari kutu putih dan aphid
dan apabila telah terlihat ada tanaman yang terserang penyakit kerdil di
lapang, maka perlu dilakukan pengendalian serangga vektor (Eng, 2002).
Disamping itu
penyebaran penyakit dapat dicegah apabila dilakukan penyemprotan secara teratur
dan secara bersama-sama dan hamparan yang cukup luas. Karena apabila
penanggulangan hanya pada satu atau dua kebun saja, sementara tanaman lain
disekelilingnya tidak, maka masih memungkinkan untuk terjadinya penularan.
Sampai saat ini belum diketahui adanya tanaman yang resisten atau toleran
terhadap serangan kutu putih.
Pengendalian secara biologis kurang memungkinkan karena untuk
pengendalian serangga vektor menghendaki penekanan serangga vektor yang cukup
tinggi. Insektisida sintetik dapat digunakan untuk mengendalikan serangga
vektor kutu putih terutama Planococcus dan akan lebih baik menggunakan
insektisida sintetik yang sistemik, karena serangga ini tersembunyi pada bagian
tanaman sehingga tidak terkena dengan insektisida kontak. Hasil penelitian penanggulangan kutu putih
pada tanaman lada di rumah kaca dengan ekstrak jarak, ekstrak mimba dan
inksektisida sintetik selama tiga bulan menunjukkan ekstrak jarak cukup efektif
menekan tumbuhnya kutu putih (Balfas dan Mustika, 2005).
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Serangga merupakan kelompok makhluk hidup yang
memiliki jumlah spesies terbanyak. Beberapa anggota dari serangga memiliki
peranan positif maupun negatif di bidang pertanian dan kehidupan. Peran negatif serangga dibidang pertanian dan
kehidupan adalah sebagai pemakan tumbuhan budidaya, sebagai vektor penyebab
penyakit pada tanaman, dan sebagai penyebab penyakit pada manusia. Peran
positif serangga adalah sebagai polinator atau penyerbuk, sebagai dekomposer
atau pengurai, sebagai predator atau parasitoid (musuh alami), sebagai
bioindikator lingkungan, sebagai penghasil bahan-bahan berguna dan bermanfaat
juga dalam bidang kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Asthami N, T Estiasih, JM Maligan.
2016. Mie instan belalang kayu
(Melanoplus cinereus): Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri 4 (1):
.238-244.
Balfas, R. Supriadi dan Endang
Sugandi, 2003. Penularan penyakit kerdil asal Bangka oleh Planococcus. Risalah
Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat, Bogor 17 – 19 September
2002. Bagian Proyek PHT Tanaman Perkebunan. Hal. 207 – 212.
Balfas, R. dan I. Mustika, 2004.
Penularan penyakit kerdil pada tanaman lada oleh Ferrisia virgata. Makalah
disampaikan pada Seminar PERSADA. Bogor, 5 Juli 2004.
Borror et al. 1998. Pengenalan
Pelajaran Serangga. 8th Ed. Terjemahan dari an Introduction to Study of Insect
oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Christian W, Gottsberger G. 2000. Diversity preys in Crop Pollination. Crop Science 40 (5): 1209-1222.
Dwomoh EA, Ackonor JB, Afun JVK.
2008. Survey of insect species associated with cashew (Anacardium occidentale
Linn.) and their distribution in Ghana. African J Agril Res 3(3):205-214
Eng, L., 2002. Viral disease and
root-knot nematode problems of black pepper (Piper nigrum L.) in Sarawak,
Malaysia. Symposiumon pests and diseases on pepper, 24th September 2002. Annex
Ss-07. p. 1 - 8.
Freitas BM, Paxton RJ. 1996. The
role of wind and insects in cashew (Anacardium occidentale) pollination in NE
Brazil. J Agric Sci 126:319-326.
Haryanto S. 2005. 30 Jenis Hewan
Penakluk Penyakit. Penebar Swadaya, Jakarta.
Kalshoven LGE. 1981.
Pest of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta:
Ichtiar Baru-Van Hoeve. (Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in
Indonesie). Kusmaryani. 2005. dalam http://www.smallcrab.com/kesehatan/25-healthy/292protein-belalang-lebih-tinggi-dari-udang.
Shahabuddin, 2003. Pemanfaatan
Serangga Sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan. Pengantar Falsafah Sains
(PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sahetapy, B. 2013.
Peranan Beberapa Jenis Serangga sebagai Vektor Penyakit Darah Pada
Tanaman Pisang. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sastrini T, KH Mutaqin. 2013.
Penularan fitoplasma sapu pada tanaman kacang tanah oleh Serangga Vektor
Orosius argentatus dan Deteksi Molekuler dengan Teknik PCR. Jurnal Fitopatologi Indonesia 9 (1) : 21–28.
Sedarlah. 2003.
Penyakit yang Ditularkan Serangga—Problem yang Meningkat
http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/102003361#h=13
Soesanthy, F., IM. Trisawa.
2011. Pengelolaan Serangga-Serangga yang
Berasosiasi dengan Tanaman Jambu Mete. Buletin RISTRI 2 (2) : 221-230.
Supriadi, Siswanto, Karmawati E,
Rahayuningsih S, Sitepu D, Adhi EM, Wikardi EA, Wiratno, Wahyono TE, Sukmana C.
2002. Pengelolaan Ekosistem Jambu MeteBerdasarkan Teknologi PHT. Laporan Hasil
Penelitian PHT Tahun 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.
50 hlm.
Untung, K. 2006. Pengantar
Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Untung, K., Sudomo, M. 1997.
Pengelolaan Serangga Secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Simposium
Entomologi. Bandung.
Wardhani, T.S., 2007. Perbandingan
Populasi Larva Odonata di Beberapa Sungai di Pulau Pinang dan Hubungannya
dengan Pengaruh Habitat dan Kualiti Air. Universiti Sains Malaysia
No comments:
Post a Comment